10.11.12

Fatimah, wanita sederhana pantang menuntut suami



MENJADI isteri seorang penguasa merupakan kebanggan dan impian mayoritas wanita. Selain memiliki prestise yang luar biasa, status sosial yang terhormat, menjadi isteri seorang pemimpin juga akan mendapatkan fasilitas yang serba lux dan kemudahan dalam administrasi.

Tak jarang ada sosok wanita yang haus akan kehormatan, gila akan gelimang materi dunia, memanfaatkan jabatan dan kekuasaan suaminya sebagai ajang menumpuk materi dengan menghalalkan segala cara. Inilah potret sebagian wanita dewasa ini, di republik negeri tercinta ini.

Sebagai renungan dan tolak ukur kezuhudan kita akan gemerlap dunia marilah sekilas kita melihat salah satu profil wanita yang bersahaja, melihat kemewahan dunia dengan apa adanya.



Wanita tersebut merupakan salah satu sosok penting dalam sejarah peradaban islam, wanita yang turut andil mengibarkan panji-panji kebesaran islam, wanita yang sangat mulia status sosialnya yang tidak terpengaruh dengan materi, kekuasaan sejenak. Wanita tersebut dikenal dengan nama Fatimah binti Abdul Malik.


***


Fatimah merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara dari khalifah Daulah Abbasyiah yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Empat saudaranya yang laki-laki adalah Yazid, Hisyam, Maslamah dan Sulaiman.

Layaknya putri raja dan kepala Negara Islam, Fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yang mewah, hidup dengan penuh kasih sayang dan dimanja oleh kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya.

Kebahagiannya menjadi sempurna dengan dipersunting oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga yang terhormat yang bernama Umar bin Abdul Aziz, beliau merupakan sosok yang hidup penuh dengan keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yang relegius dan sangat amanah. Mereka merupakan pasangan sejoli yang ideal dan romantis.

Puncak dari kebahagian mereka berdua adalah diangkatanya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik ia dilantik pada hari jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.

Ditunjuknya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah karena Sulaiman bin Abd Malik memiliki putra yang masih kecil-kecil sehingga kekuasaan tersebut diberikannya kepada Umar bin Abdul Aziz yang telah dikenal akan perangainya.

Proses dan pelantikannya sebagai khalifah inilah yang merubah pola pikir dan pandangan hidup seorang Umar bin Abdul Aziz dari seorang yang hidup penuh keglamoran menjadi sosok yang sederhana, zuhud dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik.

Selama tiga hari masa pelantikan Umar bin Abdul Aziz menuju dan memperoleh pencerahan, ia dengan tegas menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang sultan .

Fatimah, sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa khalifah baru yakni suaminya menolak segala fasilitas istana, ia hanya memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari, membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan besar-besaran dan penuh kemewahan.

Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia sangat mengenal siapa suaminya, sosok yang sangat identik dengan kemewahan hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan padahal tampuk kekuasaan kaum Muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya.

Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat Islam. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus.

Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.

Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alahi Wassalam. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan, aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”

“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?,” tanya Fatimah.

“Fatimah...! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada di tangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke Baitul Maal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai. Di sebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut, maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali keorangtuamu!,” jawab Umar bin Abdul Aziz.

Lalu Fatimah kembali bertanya, “Wahai suamiku, apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”

“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga. Surga adalah impian terakhirku, “jawab Umar bin Abdul Aziz lagi .

Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal ketika mendengar keputusan suaminya ia tidak kecewa, tidak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Dengan suara yang tegar dan mantap ia menegaskan, “Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia di sisimu baik di kala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”

Fatimah yang agung menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yang akan dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam kehidupan. Demi bakti dan keridhaan sang suami yang tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat.

Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, pakaian yang dikenakan, makanan yang disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa. Padahal status yang mereka sandang adalah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.

Begitu sederhananya konsep kehidupan yang mereka terapkan, banyak orang yang belum mengenalnya tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat Islam kala itu.

Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir untuk menemui khalifah di rumahnya, sesampai dirumah yang ditunjukkan ia melihat seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang sederhana sedang memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki pagar rumah yang dalam kondisi rusak.

Setelah perkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Ia pun menanyakan sesuatu hal,’’Ya Sayyidati, mengapa engkau tidak menutup auratmu dari orang yang sedang memperbaiki pagar rumah engkau?”

Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz yang sedang engkau cari.”

Istiqamah dalam Kesederhanaan

Dengan hidup yang penuh kesederhanaan bahkan sering kali kekurangan, Fatimah tetap sabar dan setia mendampingi Umar bin Abdul Aziz. Suaminya. Ketika suaminya meninggal dunia, Fatimah kerap mencucurkan air mata, bukan karena khawatir kehidupannya akan bertambah sulit sepeninggalan suaminya yang hanya mewariskan sebidang tanah. Namun ia menangis karena ia cemas tanpa kehadiran suami di sisinya. Sanggupkah ia mempertahankan prinsip dan konsep hidup sederhana yang selama ini dibinanya dengan sang suami tercinta?

Bahkan Yazid, saudaranya sendiri yang diangkat menjadi khalifah menggantikan Umar bin Abdul Aziz pernah mengunjungi Fatimah dan hendak menyerahkan kembali seluruh perhiasan dan fasilitas yang telah mereka serahkan ke Baitul Maal tatkala Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah. Namun dengan tegas dan penuh keikhlasan hal tersebut ditolaknya seraya berkata, "Tidak, demi Allah, hal itu tidak akan aku terima, aku bukanlah jenis orang yang taat kepada suami tatkala ia hidup dan meningkarinya tatkala ia telah tiada. Aku melakukannya ikhlas karena Allah sebagai bentuk ketaatan kepada suamiku yang tercinta,” ujarnya.

Sungguh luar biasa. Inilah sosok wanita yang sempurna, wanita yang shalihah mampu memalingkan, memejamkan mata terhadap gemilau keindahan materi tatkala kemewahan tersebut ada didepan mata dan wanita idaman para Muslimah.

Kita berharap semoga sosok-sosok ini menjadi suri tauladan bagi para wanita, khususnya wanita yang berposisi sebagai isteri penguasa agar tampil menjadi fatiamah-Fatimah baru di era kontemporer ini.

*/Hairuni, mahasiswa Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 
Sumber: hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment