Sekedar berbagi cerita masa kecil saja, semoga bisa menjadi inspirasi.
..............................................................................
Ini adalah ceritaku, semasa dulu awal-awal saya membulatkan diri untuk tidak pernah lagi meninggalkan shalat.
Once upon a time, kala itu saya sedang kelas 4 atau 5 SD, kira-kira tahun 1994-1995.
:: Sebagai info saja, sekolah saya di SD N Mulo 2 Wonosari, sebuah SD di tengah kampung gersang yang tidak terjangkau jalan aspal (waktu itu) ::
Pada masa-masa itu, di kampung saya Teguhan, desa Wunung ada satu istilah yang begitu sangat sakral, untuk membedakan seorang yang Islam-tus dan tidak tus (atau Islam KTP), yaitu istilah "nindakke". Nindakke artinya mengerjakan/menunaikan. Mengerjakan apa? Yaitu mengerjakan perintah agama.
Entah waktu itu bagi kalangan dewasa kata "nindakke" dimaknai sejauh mana, tapi bagi kami anak-anak, "nindakke" dimaknai dengan sholat 5 waktu tidak pernah bolong. Barangsiapa yang shalat tapi kadang masih bolong, berarti belum "nindakke", atau "nindakke"-nya batal. Harus mengulang lagi dari 0.
Dalam perbincangan kami (obrolan anak-anak), jika mau nanya apakah seorang teman sholat atau tidak, tanyanya: "kowe nindakke ora?", pertanyaan tajam tapi tidak menyakiti. Menurut kami bila seseorang ingin bertekad benar-benar "nindakke", harus sepenuh hati dan kemantaban. Sebab itu tadi, jika bolong 1 kali saja, "nindakke"-nya batal. Harus ngulang lagi dari 0.
Lucu memang. Tapi itulah adanya saat itu.
Pada suatu hari ketika saya menginjak kelas 5, di sebuah sore, saat itu saya sedang memanjat jambu kluthuk di samping rumah. Terbersit sebuah pikiran dalam diri saya untuk "nindakke" dengan sunggu-sungguh. Hari-hari sebelumnya, memang sudah pernah juga bertekad untuk "nindakke", tapi karena pernah bolong sholat, langsung berhenti lama tidak shalat. Putus asa. Merasa gagal. Di atas pohon hati saya bilang "rasa-rasanya apa yang saya lakukan sebelumnya seperti main-main saja".
Seturunnya saya dari pohon, saya sampaikan ke teman saya, "nindakke yuk". Dan mulai maghrib itu shalat-nonstop pertamaku dimulai. Di kamarku - kalau saja bisa dibilang "kamar" - atau mungkin tepatnya senthong, saya buat tempat shalat khusus untuk saya. Ada sajadahnya. Untuk alasnya saya jahit sendiri 2 karung bagor, saya sambung jadi 1. Untuk air wudhunya, bila sedang kemarau, selalu saya sisakan seceret air di samping tempat shalat tadi untuk wudhu shubuh. (Perlu pembaca ketahui bila musim kemarau tiba, keperluan air di desa kami diambil dari sungai yang jaraknya 45 menit jalan kaki. Dibawa dengan blek atau jrigen).
Dan hari-hari itulah, kloso bagor (tikar dari karung) tadi menjadi saksi bisu. Yang makin lama makin kelihatan lusuh, karena tidak pernah dicuci.
Menginjak kelas 6 akhir, menjadi budaya di dusun saya anak-anak yang sudah cukup besar kalau malam ngumpul dengan anak-anak sepantarannya dan tidurnya menginap di rumah salah seorang di antaranya. Sayapun demikian. Kita berlima waktu itu, ada Sumardi (sekarang wiraswasta di kampung), Kusyanto (sekarang kader PKS di Surabaya), Wuriyanto (menjadi perangkat desa di kampung), Tumiyo (tenaga kontraktor di berbagai kota), dan saya sendiri (menjadi akademisi).
Beruntungnya kelima anak ini bersepakat untuk kalau datang waktu shalat segera mengerjakan shalat, entah di rumah ataupun di mesjid, karena salah 2 dari mereka (Kusyanto dan Tumiyo) saat sekolah di Madrasah Tsanawiyah Wonosari, sementara 3 yang lain sekolah di SMP 3 Wonosari. Bagi kita yang sekolah di SMP negeri, secara tidak langsung dan kepepet pula, banyak belajar tentang kaidah-kaidah agama/ tata cara shalat, misalnya kalau masbuk gimana, kalau shalat hanya 2 orang gimana, kalau masbuk sementara yg sudah shalat baru 2 orang gimana, dan banyak lagi.
Dan istilah "nindakke"-pun masih tetap menjadi parameter dan kata sakral.
Saat saya "dolan malam" dengan mereka juga lah saya untuk pertama kalinya saya berani adzan di masjid. Tahu bagaimana ceritanya? Saat itu, di suatu malam, di mesjid jam shalat isya', saya dierih-erih pak Daldjono (guru SD ku sekaligus yang berrumah di komplek mesjid; tanah masjid adalah wakaf darinya) untuk adzan tapi saya keukeuh tidak mau, tidak berani, malu, takut. Sampai akhirnya yg adzan salah satu dari kami berlima. Sesampainya di rumah, saya mikir-mikir "masa' iya, aku bakal gak berani terus untuk adzan saja. Ah aku mulai besok harus berani!". Dan benar, esok harinya pagi-pagi sekali sebelum datang waktu shubuh saya pergi ke mesjid. Dan setelah masuk waktu shubuh, sebelum ada orang datang, saya langsung berdiri adzan di depan mik.
Itulah saat pertama saya berani adzan.
Dan alhamdulillah barier yang mejadi penghalang hati untuk berani adzan, mulai hari itu hancur. Serta lebih bersyukur lagi, "nindakke"-ku masih terjaga sampai hari ini.
Terlebih lagi saat di SMP saya bertemu dengan teman dan guru yang juga menjaga tekad untuk selalu menjadi anak muhola. Satu barang yang tidak pernah hilang dari tas waktu adalah sarung kecil dengan ukuran tinggi 1 meter.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin.........
Terima kasih untuk Ayahku, bapak Darsowiyono, yang telah mengenalkanku dengan mesjid.
Pak Daldjono yang telah ngerih-erih untuk adzan.
Teman-teman "dolan malam" ber-4 yang telah menjaga tekadku untuk tetap "nindakke".
Pak Slamet dan Pak Sudarno, guru agama dan guru fisika SMP-ku, Susanto dan Sujadi, teman sekelas SMP, yang kalian juga telah menjaga tekadku untuk tetap "nindakke".
....................................................................................................................................................
Ini sekedar berbagi cerita, bukan novel atau cerpen, juga bukan tulisan kolumnis, jadi memang alurnya tidak ada rasa sastra. Tapi semoga ada makna.
Yang ingin saya garis bawahi:
- Enggannya kita untuk melaksanakan perintah agama sejujurnya bariernya ada di hati kita masing-masing. Keberanian kita sendirilah yang mampu menghancurkannya.
- Bertemanlah dengan teman yang bisa menjaga agama dalam hati dan keseharianmu.
Epilog
Anda sudah "nindakke"?
Ini ceritaku, apa ceritamu?
Sleman, 13 Feb 2014
triwiyono
No comments:
Post a Comment