2.6.10

Lagi-lagi tentang cinta


Dari Sahabatku yg istiqamah di jalan dakwah: Kang Alfan

Sebelumnya ane minta maaf kepada para pembaca,ini adalah kisah nyata dari Saudaraku.semoga kita(terutama Akhwat) bisa mengambil faedah dan ibrah nya, amiin yaa Robbal 'Alamiin.

Ini kisah untuk orang yang sabar, hobby untuk membaca, dan selalu mencari kebenaran dan Ridho Ilahi... bagi yang ingin baca ...ya...bacalah dengan ikhlas tanpa melihat teks keseluruhan... tapi kita chatline essensi dari cerita ini. Bagi yang malas membaca... jangan dipaksa dari pada umur anda berkurang nantinya.

Beliau bercerita . . . . .
*
**
*** Ini ceritaku tentang adikku Nur Annisa, gadis yang baru beranjak dewasa namun agak Bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya agak mengkhawatirkan ibuku, banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji. Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang agak keras "Mama coba lihat dech, tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya nggak beda ama kita, malah teman-teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om-om, sering jalan-jalan, masih mending Ani, walaupun begini gini Ani nggak pernah mo kaya gituan" bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis, lirih terdengar doanya " Ya Allah, kenalkan Ani dengan hukum Engkau".

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil-kecil. Suaminya bernama Abu khoiri, (entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas-desus mengenai istri dari Abu khoiri yang tidak pernah keluar rumah, hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku, dan dia bertanya sama aku "kak, memang yang baru pindah itu istrinya buta, bisu dan tuli?"...trus aku jawab sambil lalu" kalau kamu mau tau,datangi aja langsung rumahnya". Eehhh... tuh anak benar-benar datang kerumahnya. Sekembalinya dari rumah tetanggaku, kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi...entah apa yang terjadi...?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk di buatkan Jilbab...yang panjang lagi...rok panjang, lengan panjang... aku sendiri jadi bingung... aku tambah bingung campur syukur kepada Allah SWT karena kulihat perubahan yang ajaib... yah kubilang ajaib karena dia berubah total... tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman-teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan... kulihat dia banyak merenung, banyak baca-baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kayak gadis atau femina ganti jadi majalah-majalah islam, dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku... tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur'annya, sholat sunatnya... dan yang lebih menakjubkan lagi... bila teman ku datang dia menundukkan pandangan... Segala puji bagi Engkau ya Allah SWT jerit hatiku...

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan minyak KALTEX. Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggilku untuk pulang ke rumah (rumahku di madiun). Di pesawat tak henti-hentinya aku berdoa kepada Allah SWT agar Adikku diberi kesembuhan, namun aku hanya berusaha... ketika aku tiba di rumah... didepan pintu sudah banyak orang...tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah... kulihat ibuku menangis ...aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku... sambil tersendat-sendat ibuku bilang sama aku "Dhi, adikkmu bisa ucapkan kalimat Syahadah diakhir hidupnya "...tak dapat kutahan air mata ini...

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya... diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup,,, kemudian kubuka selembar demi selembar... hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul dihatiku... perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu khoiri... disitu kulihat Tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku... isinya seperti ini :
-Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas airmata)-

Annisa : aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari)... ibu... wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku : Alhamdulillah ...sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.
Annisa : tapi ibu kan udah punya anak enam ...tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku : Subhanallah... sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT dan bila Allah SWT berkehendak... siapakah yang bisa menolaknya

Annisa : Ibu... selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku... namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam-macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab... hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab... menurut ibu bagaimana?!?

Istri tetanggaku : duhai Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki,segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita...

Annisa : tapi yang kulihat banyak wanita jilbab yang kelakuannya nggak enak...

Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami

Annisa : apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin, hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim kamu, hijab lidah kamu dari berghibah dan kesia-siaan... usahakan selalu berdzikir kepada Allah SWT, hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat, hijab hidungmu dari mencium-cium segala yang berbau busuk, hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh,hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu, hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu... itulah hakekat jilbab.

Annisa : ibu... aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab... mudah-mudahan aku bisa pakai jilbab... namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya???

Istri tetanggaku : Duhai Nisa, bila kamu memakai jilbab itu lah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT... Duhai nisa,,, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan.. ketika ditiup terompet yang kedua kali... pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan, ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita, ketika seluruh nabi ketakutan, ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini, ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing-masing hanya memperdulikan nasib dirinya,dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa bentuk manusia bermacam-macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan,bada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis... menangis karena hari itu Allah SWT murka... belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu... hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah SWT dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Hisab... Duhai Annisa,,, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung. Allah SWT...

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya... Subhanallah ... kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan : kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya buta, tuli dan bisu... wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita tidak pernah berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia.

tak tahan airmata ini pun jatuh... semoga Allah SWT menerima Adikku disisinya... Amiin Subhanallah ... aku harap cerita ini bisa menjadi ikhtibar bagi kita semua...

Dari:

Kakak yang mencintai

(source:facebook.com)

We are a couple



Ekspresi cinta bisa bermacam-macam. Bagaimana dengan ekspresi cinta pasangan aktifis dakwah? Menjadi aktifis, saya rasa tidak berarti kehilangan ekspresi dalam mencintai pasangan. Bahkan menurut saya, ekspresi cinta pasangan aktifis dakwah itu unik, karena juga harus punya pengaruh positif untuk dakwah. Lho, kok bisa begitu? Apa hubungannya ekspresi kita dalam mencintai pasangan dengan dakwah?

Berbicara soal cinta mencintai, saya terkesan dengan filosofi cinta yang dimiliki ibu saya. Filosofi beliau ini saya ‘tangkap’ secara tak sengaja ketika beliau sedang ‘menceramahi’ adik bungsu saya yang laki-laki yang sedang kasmaran. Cerita sedikit, begini kira-kira sebagian kecil isi ceramah ibu saya… “Kalau kamu mencintai seseorang malah membuat kamu jadi malas belajar, malas kuliah, malas ngapa-ngapain, membuat kamu malah jadi mundur kebelakang, itu cinta yang nggak benar …dst”.

Jadi begitu rupanya. Saya mencoba merenungi kata-kata itu lebih dalam. Saya merasakan ada kebenaran dari ‘ceramah’ ibu saya itu. Mencintai seseorang tidak boleh membuat kita menjadi mundur ke belakang. Sebaliknya, mencintai seseorang harus membuat kita lebih produktif, lebih berenergi, lebih punya vitalitas. Singkatnya, mencintai seseorang harus membuat kita menjadi lebih baik dari sebelumnya!

Lalu secara reflek saya mengaitkan itu dengan kehidupan cinta antara pasangan aktifis dakwah. Antara Ummahat al-Mukminin dengan Rasul Yang Mulia, antara para shahabiyat dengan suami mereka. Lihatlah ekspresi cinta Fathimah putri Rasulullah terhadap Ali bin Abi Thalib, Asma’ binti Abi Bakar terhadap Zubair bin Awwam, Ummu Sulaim terhadap Abu Thalhah, juga ekspresi cinta Khansa’, Nusaibah, dan para aktifis dakwah zaman ini. Mencintai suami tidak membuat mereka menjadi lemah atau mundur ke belakang. Mencintai suami juga tidak membuat mereka menjadi tak berdaya atau tak mandiri. Justru yang kita saksikan dalam sejarah, mencintai membuat mereka menjadi semakin kokoh, lebih produktif dan kontributif dalam beramal, lebih matang dan bijaksana dalam berperilaku. Dengan kata lain, mereka menjadi semakin ‘berkembang’ dan ‘bersinar’ setelah menikah!

Betapa indahnya jika ekspresi cinta kita kepada suami membawa dampak seperti itu! Betapa indahnya jika ekspresi kita dalam mencintai suami memberi pengaruh posititif pada kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai aktifis dakwah.

Menurut saya, mencintai suami tidak berarti ‘kehilangan’ diri kita sendiri. Tidak juga berarti kehilangan privacy, tidak membuat kita merasa ‘terhambat’, ‘terbelenggu’, atau ‘tak berdaya’. Kita bisa mencintai suami kita sambil tetap memiliki kepribadian kita sendiri, tetap memiliki privacy. Tentu saja semuanya dalam batas tertentu dan tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan syari’at Allah.

Bahkan yang lebih dahsyat adalah, jika cinta kita kepada suami memiliki ‘kekuatan’ yang menggerakkan dan memotivasi. Lalu cinta itu mampu membuat kita ‘berkembang’, menjadikan kita semakin energik, produktif dan kontributif! Dengan begitu, pernikahan membawa keberkahan tersendiri bagi dakwah. Karena, dakwah mendapatkan ‘kekuatan dan darah baru’ dari pernikahan para aktifisnya.

Apakah hal itu terlalu idealis? Karena kenyataan kadang berkata sebaliknya. Berapa banyak perempuan kita yang setelah menikah merasa dirinya tidak berkembang? Atau merasa hilang potensinya? Saya tidak ingin mengatakan kondisi ‘tenggelamnya’ perempuan setelah menikah sebagai sebuah fenomena, meski kondisi seperti ini sering saya jumpai di Jakarta dan juga ketika saya berkunjung ke daerah-daerah.

Saya tak ingin membahas kenapa itu terjadi, apalagi mencari ‘kambing hitam’ segala. Tetapi kita patut merenungkan kata-kata Imam Syahid Hassan Al-Banna ketika berbicara tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Saya kutipkan kata-kata beliau ini yang terdapat dalam buku Hadits Tsulasa, halaman 629… “Kehidupan rumah tangga adalah ‘hayatul amal’. Ia diwarnai oleh beban-beban dan kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata kesenangan dan romantika, melainkan tolong- menolong dalam memikul beban kehidupan dan beban dakwah…”

Rumah tangga merupakan lahan amal. Rumah tangga juga menjadi markaz dakwah. Perjalanan kehidupan rumah tangga para aktifis dakwah bukan hanya dipenuhi romantika semata, tetapi juga diwarnai oleh dinamika semangat beribadah, beramal dan berdakwah. Sebuah perjalanan rumah tangga yang bernuansa ta’awun dalam memikul beban hidup dan beban dakwah. Subhanallah!

Saya memberikan apresiasi kepada para perempuan yang setelah menikah justru semakin ‘bersinar’, kokoh, matang, bijaksana, energik, produktif dan kontributif dalam beramal, sambil menjaga keseimbangan dalam menunaikan tugas sebagai istri dan ibu. Saya percaya, untuk bisa mendapatkan semua kondisi itu ada proses panjang, kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil. Barakallahu fiiki.

Lalu untuk perempuan yang masih merasa ‘terhambat, terbelenggu dan tidak berkembang’ setelah menikah, saya ingin memberi apresiasi secara khusus. Berusahalah untuk menghilangkan perasaan terhambat, terbelenggu atau tidak berkembang itu. Ya, sebab membiarkan perasaan-perasaan semacam itu menguasai diri kita, sama saja dengan ‘menggali kuburan sendiri’. Bukankah lebih baik jika kita tetap berpikir jernih dan positif? Lalu mencari bentuk kontribusi yang paling memungkinkan yang bisa kita berikan untuk dakwah. Bisakah kita tetap berhusnuzhon, selama kita ikhlas menjalani hidup kita, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kita? Bisakah kita tetap yakin, bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh gelar, jabatan, posisi, kedudukan, ketokohan dan kondisi fisik lainnya?!

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa diantara kamu” (QS al-Hujurat:13).

Jadi, tetaplah tegar dan sedapat mungkin beramal sesuai kemampuan dan kesanggupan, karena kita tidak dituntut untuk beramal diluar kemampuan dan kesanggupan kita. Barakallahu fiiki!

31.5.10

Gaza Tidak Membutuhkanmu! (Santi Soekanto, dari Freedom Flotilla, 30 Mei 2010)

Assalamu'alaykum warahmatulLahi wabarakatuhu,

Salah satu dari 12 orang Indonesia yang ada di armada Freedom Flotilla adalah Santi Soekanto. Ia mantan wartawati harian the Jakarta Post, sempat menjadi konsultan media bagi WHO Jakarta, kemudian memutuskan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Suaminya, Wisnu Pramudya, juga ada di atas kapal. Wisnu juga wartawan, sempat memimpin majalah Hidayatullah.

Kemarin, Santi mengirim email ini pada saya. Isinya menyentuh. Saya teruskan pada kawan-kawan, semoga juga bisa bermanfaat. Silakan teruskan pada kawan-kawan lain.

Sampai saat mengirim email ini, saya belum tahu kabar mereka dan 10 orang Indonesia lain (selain Santi dan Wisnu, ada juga M. Yasin/ TV One, Surya Fachrizal/ majalah Hidayatullah, Ferry Nur/ Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina, tiga orang dari MER-C, sisanya saya belum tahu).

Mohon terus doakan mereka.

Salam,
--
Tomi Satryatomo
skype: tomi.satryatomo


From: Santi Soekanto
Sent: Sunday, May 30, 2010 8:47 AM
To: Tomi Satryatomo; Tomi Satryatomo
Subject: Just sharıng - Gaza Tidak Membutuhkanmu

Gaza Tidak Membutuhkanmu!

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia “tangan kanan” seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism…Bahkan ada seorang peserta kafilah yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan “Heroes of Islam” alias “Para Pahlawan Islam.” Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta’ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya’ akan menyelusup, na’udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta’ala.

Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidak-ikhlasan dan riya’? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah’s blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah’s anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya… Dari para ‘ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, “Untuk Gaza!” namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak – betapa pun sedikitnya – menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha… Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya – karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat…menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air – lalu kusiramkan ke toilet.

Masih ndableg.

Kucoba lagi menyiram…

Masih ndableg.

Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri…

Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet…

Blus!

Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana…

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi – agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj’alni minat tawwabiin…

Allahumaj’alni minal mutatahirin…

Allahumaj’alni min ibadikas-salihin…

29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.

4.5.10

googlebc83ac3183bdf97c.html

google-site-verification: googlebc83ac3183bdf97c.html