Suatu waktu ketika hari pembalasan tiba, Malaikat menanti para manusia yang akan digilirkan dalam penghisaban untuk masuk ke surga atau neraka. Mereka datang dengan sendiri-sendiri dan ada juga yang berkelompok-kelompok sesuai dengan jamaahnya. Sebelum mereka masuk untuk dihisab Malaikat bertanya kepada setiap manusia, “hai Kamu dari jama’ah mana?” saya jamaah A pak Malaikat, jawab manusia. “ya silahkan masuk lewat pintu sini…” kata malaikat.
Malaikat terus mengabsen para manusia, ada dari jamaah A, B, C dan sebagainya, hingga sampailah pada seseorang manusia yg datang seorang diri.
Malaikat kemudian bertanya, “hai manusia, kamu dari jamaah mana?”
Manusia itu menjawab :”saya tidak dari jamaah mana-mana pak malaikat, saya seorang diri saja”
Malaikat :”loh?? kenapa begitu? kenapa kamu tidak masuk jamaah A, B, C atau lainnya??
Manusia : “Tadinya aku berada di jamaah A, Aku diberikan pendidikan keislaman dari jamaah A, tapi aku merasa ada yang tidak cocok dengan jamaah A. para qiyadah di jamaah A, sudah tidak berada pada jalan dakwah yang benar. Sangat berbeda dengan Rasulullah. dan akhirnya saya keluar deh dari jamaah A yang membesarkan saya”
Malaikat : “terus kenapa kamu tidak masuk jamaah B?”
Manusia : “saya kurang suka dengan jamaah B, cara berdakwahnya kurang saya minati, orang-orangnya juga saya tidak suka”
Malaikat : “jamaah C?”
manusia : “walaupun mengikuti Al qur’an dan hadits tapi ga seluruhnya.. anggotanya juga banyak yg mengecewakan saya”
Malaikat : “(bergumam : set dah ini manusia, dia pikir jamaah-jamaah itu jamaah malaikat kali ya?”)
Malaikat : “Terus apa yang kamu lakukan seorang diri? bagaimana amal-amal harian kamu dengan seorang diri? bagaimana dakwah yang kamu lakukan dengan seorang diri? Ada berapa orang yang kamu dapati kemudian kamu menyeru kebaikan kepada mereka dan mereka mengikuti? Sadarkah ketika Engkau berada seorang diri kemudian dihadapkan kepada perbuatan maksiat? sadarkah kau bahwa srigala lebih leluasa dan lebih berani memakan domba yang sendirian?”. “Hai Manusia… kalian itu Jamaah Manusia, bukan jamaah malaikat seperti kami yang tidak ada khilaf, salah dan dosa. Jangan engkau banding-bandingkan apalagi disama-samakan qiyadah dalam jamaah kalian dengan Rasulullah SAW. Jangankan menyamai Rasulullah SAW, mendekati amalan-amalan para sahabat saja mungkin belum bisa.”
Malaikat :”kalian itu jamaah manusia, bukan jamaah malaikat. kalian itu jamaah manusia, salah sedikit tidak mengapa karena kalian itu manusia bukan malaikat. Allah saja Maha Pemaaf, masa kamu tidak bisa memaafkan saudara-saudara kalian?? kemudian apakah amal-amal mu lebih baik dari saudara-saudara kalian? kemudian apakah ketika kamu yg memimpin bisa lebih baik dari saudara-saudara kalian”
Manusia : “gitu ya pak malai?!?!?! hiks…hiks…hiks… iya saya sangat menyesal pak malai… ;(”
***
Al Wafa secara bahasa bisa diartikan kesetiaan, loyalitas, keikhlasan, amanah. Namun, jika diartikan secara sederhana adalah “Kacang Tidak Lupa Kulitnya”
Makna Al Wafa yang lain adalah menepati janji. Semisal akad jual beli, akad nikah, akad dengan saudara kita, akad dijalan dakwah dan sebagainya.
itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.; sesungguhnya Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah (Al Isro : 34)
Salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah orang yang memenuhi janjinya. Orang yang wafa dan orang yang bertakwa sudah pasti orang yang mukmin (arkanul iman), muslim (arkanul islam) dan muhsin (selalu berbuat baik).
Ingat-ingatlah janji kita :
* Kepada Allah SWT
* Kepada Rasulullah SAW
* Sudahkah kita selalu memenuhi janji kita kepada Allah, yang sederhana saja, apakah ketika panggilan Allah berkumandang apakah kita selalu tepat waktu berjamaah di masjid?
* janji kepada gerakan da’wah yang kita aktif didalamnya.
* dimanapun kita berada, dalam jamaah apapun kesetiaan harus tetap di munculkan. Jangan bandingkan Rasulullah dengan Ikhwah-ikhwah kita.
* janji kepada teman sejawat
* dan sebagainya..
“Ya Allah Kuatkanlah Gantunganku hanya pada-Mu saja, tidak dengan Manusia”
Wallahualam..
**source:dakwatuna.com
17.6.11
15.6.11
Takut dipecat
يُوْشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا” اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: “بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍكَثِيْرُوْنَ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ” قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللّهِ ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Akan datang suatu masa umat lain akan memperebutkan kamu ibarat orang-orang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.” Sahabat bertanya, “Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit Ya Rasulullah?”. Dijawab oleh beliau, “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas laut, dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa.” Sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”. (HR. Abu Daud).
“Cinta dunia dan takut mati!”. Inilah ungkapan ringkas yang disampaikan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad yang lalu untuk menggambarkan betapa lemahnya mental generasi akhir zaman.
Apa yang disampaikan Nabi tersebut nampaknya kini telah menjadi kenyataan. Setiap hari kita menyaksikan peristiwa demi peristiwa dan beragam tingkah polah manusia di sekeliling kita, sungguh telah jauh dari nilai-nilai kebenaran yang diajarkan Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan Sunnah.
Disorientasi Hidup
Al-Wahn—cinta dunia dan takut mati—memang membuat manusia kehilangan arah dan orientasi hidup. Mereka tidak lagi mengenal tujuan hidupnya yang hakiki untuk mencari ridha Allah (QS. 6: 163). Tidak sadar pada tugas hidupnya untuk mengabdikan diri kepada-Nya dalam berbagai aspek kehidupan (QS. 51: 56). Lupa akan peranan hidupnya yang agung, menjadi khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendak Ilahi di muka bumi (QS. 6: 165) dan sebagai pelanjut risalah Islam, menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada seluruh umat manusia dan membelanya (QS. 3: 110).
Mereka jauh dari Al-Qur’an dan Assunah sebagai pedoman hidup. Maka jadilah mereka pengagum dunia. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan mereka,
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak dipandang), dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu khalifah di dalamnya. Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka berhati-hatilah pada dunia dan berhati-hatilah pada wanita. Sesungguhnya pertama kali fitnah yang melanda Bani Israel adalah tentang wanita”. (HR. Muslim)
Kini tidak sedikit diantara manusia yang bersaing meraih jabatan. Namun sayang, jabatan itu mereka ambil dengan tidak mengindahkan hak-haknya. Meraih jabatan bukan untuk melayani, tapi untuk memperkaya diri. Tentang sikap mental seperti ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya diantara kalian ada yang berambisi menjadi penguasa, padahal yang demikian itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Karena sebaik-baik seorang ibu adalah yang mau menyusui anaknya dan sejelek-jelek ibu adalah yang tidak mau menyusui anaknya” (HR. Bukhari).
Kepemimpinan bukanlah hal yang kotor dan busuk. Bahkan ia adalah kebaikan di sisi Allah Ta’ala, asal mampu membawanya dengan menunaikan hak-haknya.
Zaid bin Tsabit pernah berkata saat ia berada di samping Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan.” Mendengar hal itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyanggahnya, “Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan hak-haknya. Dan seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka kelak hanya akan mengundang kekecewaan pada hari kiamat.” (HR. Thabrani).
Ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak
Keburukan lain yang seringkali nampak adalah fenomena ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak. Banyak manusia mengaku beragama Islam, tapi perbuatannya sehari-hari tidak mencerminkan ajaran Islam sama sekali. Islam hanya sekedar jadi identitas formal yang tertera di surat-surat penting untuk memudahkan urusan-urusan administratif. Sementara kehidupannya sehari-hari dipenuhi kedurhakaan pada syariat Islam. Shalat sering ditinggalkan tanpa perasaan berdosa. Zakat tidak ditunaikan secara sempurna. Sedangkan haji dijadikannya sarana tamasya.
Mushaf Al-Qur’an disimpannya dengan rapi di lemari. Tidak dibaca, tidak dipelajari, dan tidak diamalkan. Ia hanya jadi aksesoris dan instrument pemanis interior rumah sekaligus jadi alat jaga image. Mereka senang membangun masjid-masjid, tapi tidak senang memakmurkannya. Mereka senang berdiskusi dan berbicara tentang Islam tapi malas mengamalkan ajarannya secara paripurna.
Abu Hudzaifah pernah ditanya, “Apa itu nifaq?”, Hudzaifah menjawab, “Kamu berbicara tentang Islam, tapi kamu tidak mengamalkan ajarannya”. (Musnad Ar-Rabi’).
Ya, banyak orang yang pandai berbicara tentang Islam, tapi sebenarnya ia tidak mengimani dan tidak mengamalkan ajarannya. Apa yang keluar dari mulutnya tidak lain hanyalah kumpulan retorika sekedar untuk membuat orang terkagum-kagum pada ‘otot-otot intelektual’nya.
Nabi SAW bersabda,“Akan datang pada manusia satu zaman, di kala itu Islam tidak tinggal melainkan namanya, dan al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya, masjid-masjidnya bagus namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di kolong langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepada mereka”. (HR. Baihaqi).
Kehilangan Integritas Diri
Sangatlah pantas apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati umat akhir zaman dengan kalimat hubbud dunya wa karohiyatul maut, karena saking gandrungnya pada dunia, kebanyakan dari mereka tidak lagi memperhatikan halal dan haram.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan datang satu masa kepada manusia, dimana pada masa itu seseorang tidak lagi memperdulikan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram”. (HR. Bukhari dan Nasa’i dari Abu Hurairah).
Bukan hanya itu, mereka pun tidak menghargai kejujuran. Mereka beranggapan kejujuran itu tidak akan mendatangkan keuntungan. Sementara kebohongan dan kata-kata palsu dianggapnya lebih bisa diandalkan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Akan datang satu masa kepada manusia, yang di dalamnya manusia tidak kuasa mencari penghidupan melainkan dengan cara maksiat. Sehingga seorang laki-laki berani berdusta dan bersumpah. Apabila masa itu telah datang, hendaklah kalian berlari.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, kemana harus berlari?” Beliau menjawab, “Kepada Allah dan kepada kitab-Nya serta kepada sunnah Nabi-Nya.” (HR. Ad-Dailami).
Degradasi Moral
Akhlak buruk merajalela; premanisme, kekerasan, pornografi dan pornoaksi menjadi tontonan dan berita harian. Rasa kemanusiaan seolah telah sirna ditelan bumi. Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada salah satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dua golongan dari ahli neraka yang belum kami ketahui yaitu segolongan kaum yang membawa cambuk seperti ekor lembu untuk memukul manusia; dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menari-nari sambil menggelengkan kepalanya seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal surga itu dapat tercium dari perjalanan sejauh sekian dan sekian.” Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sejauh lima ratus tahun.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Degradasi moral mewabah hingga mampu menghapus rasa tanggung jawab untuk mendidik anak; tidak merasa perlu menghormati orang tua dan tidak menyanyangi mereka yang lebih muda. Tidak ada yang dipedulikan kecuali kenikmatan badani.
“Apabila zaman telah dekat (kiamat), seorang laki-laki mendidik anjing lebih baik daripada mendidik anaknya. Tidak ada rasa hormat pada yang lebih tua dan tidak ada rasa kasih sayang pada yang lebih muda; dan banyak anak-anak hasil perzinaan, hingga banyaklah laki-laki menyantap perempuan di jalanan, mereka berbulu kambing namun berhati serigala.” (HR. Al-Hakim & Thabrani).
Betapa malang dan ruginya mereka. Hubbud dunya wa karohiyatul maut telah menggiringnya begitu jauh dari hidayah Al-Qur’an. Wahai dimanakah para penyeru kebenaran? Dimanakah pejuang amar ma’ruf nahi munkar? Dimanakah pembawa panji-panji Al-Qur’an?
Apakah kemaksiatan sudah begitu memuncak dan menjadi dinding penghalang keberkahan wahyu Al-Qur’an?
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila ummatku mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam darinya; dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka terdindinglah keberkahan wahyu (Al-Qur’an)” (HR. Tirmidzi).
Na’udzubillahi min dzalik.
**source: Intima magazine
“Akan datang suatu masa umat lain akan memperebutkan kamu ibarat orang-orang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.” Sahabat bertanya, “Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit Ya Rasulullah?”. Dijawab oleh beliau, “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas laut, dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa.” Sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”. (HR. Abu Daud).
“Cinta dunia dan takut mati!”. Inilah ungkapan ringkas yang disampaikan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad yang lalu untuk menggambarkan betapa lemahnya mental generasi akhir zaman.
Apa yang disampaikan Nabi tersebut nampaknya kini telah menjadi kenyataan. Setiap hari kita menyaksikan peristiwa demi peristiwa dan beragam tingkah polah manusia di sekeliling kita, sungguh telah jauh dari nilai-nilai kebenaran yang diajarkan Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan Sunnah.
Disorientasi Hidup
Al-Wahn—cinta dunia dan takut mati—memang membuat manusia kehilangan arah dan orientasi hidup. Mereka tidak lagi mengenal tujuan hidupnya yang hakiki untuk mencari ridha Allah (QS. 6: 163). Tidak sadar pada tugas hidupnya untuk mengabdikan diri kepada-Nya dalam berbagai aspek kehidupan (QS. 51: 56). Lupa akan peranan hidupnya yang agung, menjadi khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendak Ilahi di muka bumi (QS. 6: 165) dan sebagai pelanjut risalah Islam, menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada seluruh umat manusia dan membelanya (QS. 3: 110).
Mereka jauh dari Al-Qur’an dan Assunah sebagai pedoman hidup. Maka jadilah mereka pengagum dunia. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan mereka,
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak dipandang), dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu khalifah di dalamnya. Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka berhati-hatilah pada dunia dan berhati-hatilah pada wanita. Sesungguhnya pertama kali fitnah yang melanda Bani Israel adalah tentang wanita”. (HR. Muslim)
Kini tidak sedikit diantara manusia yang bersaing meraih jabatan. Namun sayang, jabatan itu mereka ambil dengan tidak mengindahkan hak-haknya. Meraih jabatan bukan untuk melayani, tapi untuk memperkaya diri. Tentang sikap mental seperti ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya diantara kalian ada yang berambisi menjadi penguasa, padahal yang demikian itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Karena sebaik-baik seorang ibu adalah yang mau menyusui anaknya dan sejelek-jelek ibu adalah yang tidak mau menyusui anaknya” (HR. Bukhari).
Kepemimpinan bukanlah hal yang kotor dan busuk. Bahkan ia adalah kebaikan di sisi Allah Ta’ala, asal mampu membawanya dengan menunaikan hak-haknya.
Zaid bin Tsabit pernah berkata saat ia berada di samping Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan.” Mendengar hal itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyanggahnya, “Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan hak-haknya. Dan seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka kelak hanya akan mengundang kekecewaan pada hari kiamat.” (HR. Thabrani).
Ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak
Keburukan lain yang seringkali nampak adalah fenomena ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak. Banyak manusia mengaku beragama Islam, tapi perbuatannya sehari-hari tidak mencerminkan ajaran Islam sama sekali. Islam hanya sekedar jadi identitas formal yang tertera di surat-surat penting untuk memudahkan urusan-urusan administratif. Sementara kehidupannya sehari-hari dipenuhi kedurhakaan pada syariat Islam. Shalat sering ditinggalkan tanpa perasaan berdosa. Zakat tidak ditunaikan secara sempurna. Sedangkan haji dijadikannya sarana tamasya.
Mushaf Al-Qur’an disimpannya dengan rapi di lemari. Tidak dibaca, tidak dipelajari, dan tidak diamalkan. Ia hanya jadi aksesoris dan instrument pemanis interior rumah sekaligus jadi alat jaga image. Mereka senang membangun masjid-masjid, tapi tidak senang memakmurkannya. Mereka senang berdiskusi dan berbicara tentang Islam tapi malas mengamalkan ajarannya secara paripurna.
Abu Hudzaifah pernah ditanya, “Apa itu nifaq?”, Hudzaifah menjawab, “Kamu berbicara tentang Islam, tapi kamu tidak mengamalkan ajarannya”. (Musnad Ar-Rabi’).
Ya, banyak orang yang pandai berbicara tentang Islam, tapi sebenarnya ia tidak mengimani dan tidak mengamalkan ajarannya. Apa yang keluar dari mulutnya tidak lain hanyalah kumpulan retorika sekedar untuk membuat orang terkagum-kagum pada ‘otot-otot intelektual’nya.
Nabi SAW bersabda,“Akan datang pada manusia satu zaman, di kala itu Islam tidak tinggal melainkan namanya, dan al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya, masjid-masjidnya bagus namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di kolong langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepada mereka”. (HR. Baihaqi).
Kehilangan Integritas Diri
Sangatlah pantas apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati umat akhir zaman dengan kalimat hubbud dunya wa karohiyatul maut, karena saking gandrungnya pada dunia, kebanyakan dari mereka tidak lagi memperhatikan halal dan haram.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan datang satu masa kepada manusia, dimana pada masa itu seseorang tidak lagi memperdulikan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram”. (HR. Bukhari dan Nasa’i dari Abu Hurairah).
Bukan hanya itu, mereka pun tidak menghargai kejujuran. Mereka beranggapan kejujuran itu tidak akan mendatangkan keuntungan. Sementara kebohongan dan kata-kata palsu dianggapnya lebih bisa diandalkan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Akan datang satu masa kepada manusia, yang di dalamnya manusia tidak kuasa mencari penghidupan melainkan dengan cara maksiat. Sehingga seorang laki-laki berani berdusta dan bersumpah. Apabila masa itu telah datang, hendaklah kalian berlari.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, kemana harus berlari?” Beliau menjawab, “Kepada Allah dan kepada kitab-Nya serta kepada sunnah Nabi-Nya.” (HR. Ad-Dailami).
Degradasi Moral
Akhlak buruk merajalela; premanisme, kekerasan, pornografi dan pornoaksi menjadi tontonan dan berita harian. Rasa kemanusiaan seolah telah sirna ditelan bumi. Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada salah satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dua golongan dari ahli neraka yang belum kami ketahui yaitu segolongan kaum yang membawa cambuk seperti ekor lembu untuk memukul manusia; dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menari-nari sambil menggelengkan kepalanya seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal surga itu dapat tercium dari perjalanan sejauh sekian dan sekian.” Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sejauh lima ratus tahun.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Degradasi moral mewabah hingga mampu menghapus rasa tanggung jawab untuk mendidik anak; tidak merasa perlu menghormati orang tua dan tidak menyanyangi mereka yang lebih muda. Tidak ada yang dipedulikan kecuali kenikmatan badani.
“Apabila zaman telah dekat (kiamat), seorang laki-laki mendidik anjing lebih baik daripada mendidik anaknya. Tidak ada rasa hormat pada yang lebih tua dan tidak ada rasa kasih sayang pada yang lebih muda; dan banyak anak-anak hasil perzinaan, hingga banyaklah laki-laki menyantap perempuan di jalanan, mereka berbulu kambing namun berhati serigala.” (HR. Al-Hakim & Thabrani).
Betapa malang dan ruginya mereka. Hubbud dunya wa karohiyatul maut telah menggiringnya begitu jauh dari hidayah Al-Qur’an. Wahai dimanakah para penyeru kebenaran? Dimanakah pejuang amar ma’ruf nahi munkar? Dimanakah pembawa panji-panji Al-Qur’an?
Apakah kemaksiatan sudah begitu memuncak dan menjadi dinding penghalang keberkahan wahyu Al-Qur’an?
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila ummatku mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam darinya; dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka terdindinglah keberkahan wahyu (Al-Qur’an)” (HR. Tirmidzi).
Na’udzubillahi min dzalik.
**source: Intima magazine
Subscribe to:
Posts (Atom)